LAMONGAN | KOMANDOPATASTV.COM
Kejanggalan luar biasa terjadi di Desa Geger, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Seorang ibu, Tumiyah, yang masih sehat walafiat justru dinyatakan meninggal dunia secara resmi dalam data kependudukan. Dugaan pemalsuan dokumen ini menyeret nama-nama perangkat desa hingga kepala desa setempat, yang kini berpotensi menghadapi jeratan hukum berat.
Kasus ini terungkap setelah keluarga Tumiyah mendapati data kependudukan yang menyatakan bahwa ia telah meninggal dunia pada tahun 2023. Padahal, faktanya, ia masih hidup dan beraktivitas seperti biasa. Permohonan surat kematian ini diajukan oleh perangkat desa Teguh Sudaryono, dengan tanda tangan saksi Jeri Prasetyo dan Kepala Desa Subhekan.
Misteri semakin dalam ketika Tumiyah mencoba meminta salinan surat kematiannya dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Lamongan melalui Kantor Kecamatan Turi, namun permintaan itu ditolak. Diduga, ada upaya sistematis untuk menutupi jejak pemalsuan ini.
Diduga untuk Kepentingan Pribadi dan Program PTSL
Informasi yang dihimpun mengarah pada dugaan bahwa pemalsuan ini dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Salah satu kemungkinan kuat adalah untuk melengkapi persyaratan dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sebuah program pemerintah yang sering kali dikaitkan dengan berbagai modus penyimpangan.
Selain itu, kejanggalan lain muncul ketika Tumiyah ingin mengajukan permohonan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) Lansia. Ia butuh dokumen resmi untuk membuktikan dirinya masih hidup, namun pihak terkait justru mempersulitnya. "Diduga agar bisa menghilangkan jejak ini, Disdukcapil meminta keterangan hidup dari Pemerintah Desa Geger," ungkap salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Hukuman Berat Menanti! Bisa Dipenjara Hingga 20 Tahun
Jika terbukti bersalah, perangkat desa dan kepala desa yang terlibat dalam skandal ini bisa dijerat dengan berbagai pasal hukum. Pasal 263 KUHP menyebutkan bahwa pemalsuan dokumen dapat diancam dengan hukuman penjara hingga 6 tahun. Jika dokumen yang dipalsukan termasuk akta otentik seperti dokumen kependudukan, ancaman pidananya bisa meningkat hingga 8 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 264 KUHP.
Tidak hanya itu, dalam UU Administrasi Kependudukan Pasal 93, siapapun yang memberikan data kependudukan tidak benar bisa dipenjara hingga 6 tahun dan didenda maksimal Rp75 juta. Sementara itu, pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya dalam layanan administrasi kependudukan juga berisiko terkena hukuman yang sama sesuai Pasal 96A.
Yang lebih mengerikan, jika pemalsuan ini dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok dengan cara melawan hukum, maka kasus ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, pelaku bisa dihukum hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Tuntutan Publik: Proses Hukum Harus Transparan!
Kasus ini memicu kemarahan warga setempat. Mereka mendesak agar pihak berwenang, termasuk kepolisian dan instansi terkait, segera mengusut tuntas skandal ini. "Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk. Jangan sampai ada lagi kasus orang hidup yang 'dimatikan' demi kepentingan segelintir orang," ujar seorang warga dengan nada geram.(zainal arifin)
0 Komentar